Dalam kehidupan, banyak kejadian dan cerita hidup yang harus kita jalani meskipun hal tersebut sebenarnya tidak ingin kita lalui, perjalanan dalam kehidupan ini akan menemukan berbagai macam cerita yang sulit kita jelaskan, salah satunya seperti kehidupan berumah tangga. Bahwa dalam kehidupan berumah tangga ini akan dilalui oleh sebagian besar setiap manusia dan didalam kehidupan berumah tangga akan banyak liku-liku kehidupan yang naik turun, susah senang, sakit sehat, dll. Perjalanan kehidupan berumah tangga ini ada sebagian yang mengalami kehancuran/perceraian disebabkan oleh berbagai masalah yang mungkin sudah tidak sanggup lagi keduabelah pihak untuk tetap bersama. Disinilah kita akan menemukan pertanyaan besar yang pada dasarnya kita sudah mengetahui mengenai hukum pernikan dalam islam, bahwa jika sudah kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan telah menika maka hak sepenuhnya atas perempuan tersebut menjadi tanggung jawab laki-laki atau suami, sebab di dalam perkawinan ter...
Setiap tanggal 1 Oktober kita semua Bangsa
Indonesia selalu peringati sebagai Hari Kesaktian Pancasila, hal ini
dimaksudkan agar bangsa Indonesia mengingat lagi kekejaman Gerakan 30 September
atau G30S/ PKI yang menewaskan enam jenderal dan satu ajudan pada 30 September
1965. Insiden ini sendiri masih menjadi perdebatan di tengah lingkungan
akademisi mengenai siapa aktor dan apa motif di belakangnya. Akan tetapi
otoritas militer dan kelompok keagamaan terbesar saat itu menyebarkan kabar
bahwa insiden tersebut merupakan usaha PKI mengubah unsur Pancasila menjadi
ideologi komunis, untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI), dan
membenarkan peristiwa Pembantaian di Indonesia 1965–1966. Gejolak yang timbul
akibat G30S PKI sendiri pada akhirnya berhasil diredam oleh otoritas militer
Indonesia. Pemerintah Orde Baru kemudian menetapkan 30 September sebagai Hari
Peringatan Gerakan 30 September G30S dan tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai
Hari Kesaktian Pancasila.
Berbeda dengan Hari Kesaktian Pancasila, Hari
Lahirnya Pancasila merupakan peringatan cikal bakal Pancasila dijadikan lambang
negara. Mulai tahun 2017, Hari Lahir Pancasila ditetapkan sebagai hari libur
nasional menurut Keppres No. 24 Tahun 2016. Lahirnya Pancasila adalah judul
pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai
(bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan")
pada tanggal 1 Juni 1945.
Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal
‘Pancasila’ pertama kali ditemukan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia
merdeka. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi
tanpa judul. Pidato tersebut baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila"
oleh mantan Ketua BPUPK Dr Radjiman Wedyodiningrat. Sebutan tersebut dalam kata
pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPK tersebut.
Sedangkan Hari Kesaktian Pancasila
diperingati karena ideologi Pancasila kembali dikuatkan oleh pemerintah pasca
peristiwa G30S. Pada masa pemerintahan Soeharto, hal besar itu adalah
legitimasi pemerintah mengembalikan Pancasila pada ideologi negara dan menolak
paham selain Pancasila. Munculnya Hari Kesaktian Pancasila juga untuk menguatkan
ideologi negara sebagai landasan cita-cita kebangsaan. Peringatan ini juga agar
masyarakat selalu dapat merenungkan dan mengimplementasikan kembali nilai-nilai
yang terkandung pada Pancasila dalam setiap tata kehidupan berbangsa dan
benegara.
Tepat hari Selasa tanggal 1 Oktober 2019
kemarin, bertepatan dengan Hari Kesaktain Pancasila bersamaan dengan itu juga
bersamaan dengan dilantiknya 575 anggota DPR RI yang terpilih dalam Pemilu 2019
dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pengambilan sumpah jabatan anggota DPR RI
kemarin dipandu langsung oleh Ketua Mahkamah Agung (MA), Hatta Ali. Sebelum
pengambilan sumpah, Hatta Ali mengingatkan kepada 575 anggota DPR bahwa sumpah
dan janji ini harus dipenuhi.
Berikut bunyi sumpah dan janji yang diucapkan
para anggota DPR:
"Saya bersumpah saya akan memenuhi
kewajiban saya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan pedoman
pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan
bekerja dengan sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta
mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan
golongan.
Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi
rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan
bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sumpah itu selain disaksikan Bangsa
Indonesia, tentu juga ikrar suci ini langsung disaksikan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Dibalik kemerian dan optimisme dengan telah dilantiknya DPR RI yang baru,
semua pasti berharap dan berdoa agar kedepanya baik kinerja maupun moral wakil
rakyat di senayan akan lebih baik lagi.
Menarik didalam sumpah itu ditegaskan Ikrar
DPR dalam menjalankan kewajiban sebagai wakil rakyat harus ... sesuai dengan
pedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945.
Dengan merenungi sumpah sebagai wakil rakyat
di DPR, tentu kedepan ada beban moral dan nilai disetiap ponda wakil rakyat.
Khususnya dalam setiap menjalankan kewajiban anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan,
bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Hal tersebut tidak
hanya telah menunjukan cermin nilai moral maupun hukum, namun sudah mencerminkan
pola-pola kehidupan berbangsa maupun bernegara di Indonesia. Itula cerminan
wakil rakyat yang benar-benar terilhami dari nilai Pancasila sebagai pedoman
dalam kehidupan berbangsa maupun bernegara.
Sebagai wakil rakyat yang diberi kepercayaan
besar untuk menjalankan kewajiban, tentu kedepan nilai moral itu harus
terimplementasikan dalam pola sikap, tindak, maupun kerja yang bekerja dengan
sungguh-sungguh demi tegaknya kehidupan demokrasi serta mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Tidak lagi bicara lagi kepentingan Partai A
atau B maupun kepentingan C, tidak lagi bicara kepentingan pribadi dengan
agenda-agenda yang pada akhirnya hanya akan mencidrai DPR itu sendiri sebagai
wakil dan pemegang mandat rakyat.
Perlu diketahui bersama, dibalik kemeriaan
Acara Ijab Kabul DPR RI tanggal 1 Oktober. Gelombang aksi baik dari Mahasiswa,
Elemen masyarakat sipil, akademisi, dan berbagai elemen masyarakat Indonesia
masih mewarnai kemeriana pesta ini. Baik aksi di Jakarta maupun di berbagai daerah
Indonesia, tentu hal ini semua tidak bisa dikorelasikan dengan Pelantikan DPR
RI. Namun yang perlu kita cermati dan nilai dengan akal sehat bersama sebagai
besar tuntutan aksi tersebut terkait beberapa regulasi yang sedang dan/atau
sudah dibuat oleh DPR, dan merupakan tugas dan kewajiban bagi wakil rakyat baik
yang sedang duduk dan/atau akan duduk kembali. Maka sangat salah benar kalau
kita menilai persoalan ini hanya bicara siapa yang duduk, atau akan dilantik
hari ini.
Sebagai contoh dengan disyahkanya RUU KPK,
pro kontra pun terjadi dimasyarakat. Keterlibatan DPR dalam seleksi pimpinan
KPK yang baru, dengan terpilihnya salah satu unsur pimpinan KPK yang
berdasarkan data dan pernyataan dari KPK bermasalah secara etik juga menambah
deretan panjang keterlibatan DPR dalam mengambil sikap sebagai wakil rakyat
yang menimbulkan kontroversi ditengah kehidupan berbangsa dan bernegara hari
ini.
Pengamat politik dari Center for Strategic
and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyebut DPR dan pemerintah
seakan sengaja memilih mengesahkan RUU KPK di akhir masa jabatan.[1]
Pertimbangan utama dari pilihan itu disebut Arya karena DPR dan pemerintah tak
lagi dibebani risiko politik, terutama ketakutan tidak terpilih kembali pada
masa jabatan berikutnya.
Terlihat adanya tindakan nyata dari DPR
maupun Pemerintah yang mengabaikan aspirasi rakyat dan masyarakat sipil dalam
kasus pemilihan unsur pimpinan KPK dan
Revisi UU KPK adalah salah satu cermin wajah parlemen periode 2014-2019.
Perlu kita ingat dan baca kembali bagaimana
penegasan fungsi DPR dalam Pasal 20A Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 fungsi DPR
yaitu ;
1. Fungsi Legislasi : yaitu DPR memegang
kekuasaan dalam membentuk undang-undang.
2. Fungsi Anggaran : yaitu DPR membahas dan
memberikan sebuah persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap sebuah
rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh presiden.
3. Fungsi Pengawasan : yaitu DPR melaksanakan
sebuah pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Dalam menjalankan fungsi berdasarkan UUD NRI
Tahun 1945, DPR juga memiliki hak yang berhubungan dengan fungsi dan wewenang
sebagai DPR. Hak-hak tersebut diantaranya Hak Interpelasi yaitu hak DPR untuk
meminta sebuah keterangan kepada pemerintah yang mengenai kebijakan pemerintah
yang penting dan strategis serta berdampak luas pada sebuah kehidupan
masyarakat, bangsa, dan bernegara. Hak Angket yaitu hak DPR untuk melakukan
sebuah penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas
pada sebuah kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan sebuah peraturan perundang-undangan. Hak Menyatakan
Pendapat yaitu hak DPR yang dilakukan untuk menyatakan sebuah pendapat atas
kebijakan pemerintah dan kejadian dari luar biasa yang terjadi di tanah air dan
dunia internasional, dan hak-hak lainya yang diberikan peraturan. Tidak
berjalannya Hak interpelasi DPR, dapat dilihat dengan naiknya harga BBM di
subuh hari yang dilakukan oleh Pemerintah. Kritik DPR hanya lebih pada agenda
politis semata, kemudian hilang tanpa kejelasan sebagai wakil rakyat.
Selain hak interpelasi, DPR dibekali dua
instrumen lain dalam menjalankan fungsi pengawasan yakni hak angket dan hak
menyatakan pendapat. Salah satu dari ketiga instrumen itu bisa digunakan jika
sewaktu-waktu kinerja pemerintah dinilai tidak maksimal.
Berdasarkan laporan kinerja sejak tahun 2014
hingga 2019, DPR tercatat baru dua kali mengajukan hak angket kepada
pemerintah.[2]
Pertama adalah hak angket PT Pelindo II yang
dilanjutkan dengan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) angket Pelindo II pada
13 Oktober 2015. Kedua pengajuan hak angket Tentang Pelaksanaan Tugas dan
Kewenangan KPK pada tahun 2017.
Dua hak angket beserta Pansus yang diajukan
DPR untuk mengawasi kedua kasus tersebut pun diragukan efektifitasnya. Sebab,
tak semua hasil rekomendasi kerja Pansus hak angket DPR itu dapat ditindaklanjuti
oleh pemerintah.
Rekomendasi Pansus Hak Angket Pelindo II
menjadi contoh terhangat. Hak angket Pelindo II digunakan untuk mengawal kasus
dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Pelindo II oleh DPR.
Salah satu poin krusial yang dibacakan dalam
rekomendasi akhir Pansus dalam Rapat Paripurna yang digelar pada Desember 2015
silam adalah mendesak Jokowi mencopot Menteri BUMN Rini Soemarno. Rini, menurut
Pansus Pelindo II, dianggap telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara.
Rekomendasi itu bahkan sempat dilaporkan
kembali oleh Pansus Pelindo II pada masa rapat paripurna 24 Mei 2019. Namun,
rekomendasi yang seharusnya bersifat mengikat itu seperti menjadi sebatas
imbauan. Rini Soemarno sampai detik ini masih menjabat sebagai Menteri BUMN.
Komisi-komisi di DPR, menurut data yang
dihimpun Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) juga
menindaklanjuti sejumlah temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun
2018.
Formappi turut menyoroti beberapa tim
pengawas maupun tim pemantau yang dibentuk oleh DPR periode 2014-2019 untuk
mengawasi pemerintah terlihat tak jelas kegiatan dan hasilnya.
Beberapa tim pengawas antara lain Tim
pengawas UP2DP, Tim Reformasi DPR, Tim Pengawas Wilayah Perbatasan, hingga Tim
Pemantau UU Otsus. Tim yang terakhir menjadi paling disoroti karena disebut tak
kunjung menyelesaikan pekerjaannya sejak dibentuk 2014 silam.
Tak hanya lemah dari sisi pengawasan, DPR
periode 2014-2019 pun tak kunjung produktif dalam menyusun peraturan
perundang-undangan atau menjalankan fungsi legislasi.
Berdasarkan laporan tahunannya, DPR telah
menetapkan sebanyak 222 Rancangan Undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019. Daftar tersebut terdiri atas 189 RUU
-55 diantaranya adalah RUU prioritas- dan 33 RUU lain yang bersifat Kumulatif.
Riset yang dilakukan Indonesian Corruption
Watch (ICW) menyebut RUU yang berhasil disahkan DPD hingga April 2019 hanya
sebanyak 26 UU atau sebesar 10 persen dari total target Prolegnas. Jumlah itu
sudah termasuk penetapan Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu)
menjadi UU.
Data terbaru dari Forum Masyarakat Peduli
Parlemen (Formappi) per 26 September, hanya 35 RUU yang berhasil disahkan dewan
selama menjabat. Performa DPR periode ini jelas tak sebanding angaran dan
fasilitas yang mereka peroleh. Jumlah total APBN yang dialokasikan untuk
lembaga legislatif sepanjang 2015-2019 mencapai Rp 26,14 triliun. Rata-rata,
anggaran DPR per tahun sebesar Rp 5,23 triliun. Evaluasi kinerja legislasi DPR
sepanjang hampir lima tahun masa bakti, membuktikan bahwa DPR 2014-2019
mengalami persoalan serius dalam menghasilkan jumlah RUU. Dari 189 daftar RUU
Prolegnas 2014-2019, DPR baru berhasil mengesahkan 27 diantaranya atau hanya 14
persen saja.[3]
Data ICW dan Formappi menunjukkan DPR hanya
bisa menyelesaikan lima sampai tujuh
pembahasan UU atau revisi UU setiap tahunnya. Jumlah itu tentunya di luar RUU
Kumulatif yang sudah disahkan.
Jumlah minim dan kualitasnya diragukan.
Bahkan, tak sedikit produk legislasi DPR yang menimbulkan kontroversi di tengah
masyarakat. Salah satu yang paling menonjol adalah revisi UU tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD (MD3) menjadi UU MD3, Februari 2018 dan RUU KPK.
Substansinya banyak digugat oleh elemen
masyarakat sipil. Dan hanya butuh tiga bulan saja bagi sejumlah elemen
masyarakat sipil untuk menggugat UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya,
MK mengabulkan permohonan uji materi terkait pasal pemanggilan paksa bagi yang
menghina atau merendahkan kehormatan DPR. Undang-undang disyahkan lalu digugat
di MK itulah moti yang sering terdengar hari ini dimasyarakat.
Terkait UU KPK yang baru disyahkan,
Koordinator Indonesia Corruption Watch ( ICW) Adnan Topan Husodo menuturkan
dalam sebuah media, tak menutup kemungkinan pihaknya bersama Koalisi Masyarakat
Sipil Kawal KPK akan menggugat revisi Undang-Undang tentang KPK yang disahkan
DPR ke Mahkamah Konstitusi ( MK).[4]
Disamping mendampat Rapor Merah dari berbagai
masyarakat, DPR 2014-2019 dikenal juga boros anggaran. DPR juga dikenai sebagai
produsen koruptor, tercatat 23 anggota DPR terjerat kasus korupsi, 2
diantaranya dari unsur pimpinan DPR. Komisi V paling banyak yaitu 5 (limah)
orang. [5] DPR 2014-2019 juga akan dikenang suka gonta-ganti Pimpinan mulai
dari Setya Novanto sampai Bambang Soesatyo, setidaknya sudah 4 (empat) kalih
berganti pimpinan.
Potret buram tersebut kian nyata saat dilakukan
survei persepsi tentang kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang dirilis
Lembaga Survei Indonesia, Kamis (29/8/2019). Survei yang dilaksanakan pada
11-16 Mei 2019 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.220
responden. Adapun margin of error 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Salah satu
hasilnya, DPR dan partai politik masih konsisten menempati posisi paling rendah
dalam hal kepercayaan publik. Hanya 61% saja publik yang percaya dengan DPR dan
di bawahnya ada partai politik dengan tingkat kepercayaan 53%. Sementara itu
KPK menjadi lembaga paling dipercayai. Sebanyak 84% responden percaya kepada
KPK.[6]
Dengan semakin berkurangnya kepercayaan
publik terhadap DPR, hal ini tidak hanya akan menimbulkan antipatif masyarakat
terhadap setiap kebijakan dan/atau kinerja DPR periode 2019-2024 kedepan.
Menimbulkan pisimisme sosial yang pada akhirnya akan merenggut ligitimasi DPR
sebagai wakil rakyat yang disemestinya mereka adalah simbol cita-cita refomasi
sebagai bagian mimpi dari adanya Indonesia.
Maka hal yang tak kalah penting adalah DPR
harus dapat merefleksikan diri sendiri, baik sebagai wakil rakyat maupun simbol
keberadaan kedaulatan rakyat dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Introveksi
diri, baik secara pribadi maupun organisasi merupakan hal utama. Baik secara
moral maupun nilai agar masyarakat dapat melihat hal tersebut kedepanya dalam
pola etika maupun hasil kinerja sebagai bagian utuh dalam mewujudkan cita-cita
reformasi maupun kemerdekaan.
Pancasila yang seharusnya mengilhami cara
pikir dan tindak DPR parka Reformasi, hari ini masyarakat banyak bertanya siapa
yang sebenarnya merongrongnya. Pancasila hanya seperti alat serimonial dan
pencitraan semata kalau dibandingkan dengan apa yang sudah DPR kerjakan dan
pertontotnkan selama ini. Setidaknya hari Kesaktian Pancasila, harus kita
renungi bersama bahwa upacara pelantikan dan pengambilan sumpah DPR hari ini,
belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Baik secara etik mereka
sebagai anggota DPR, maupun secara organisasis DPR sebagai lembaga yang
diharapkan dan diamanakan mengemban amana kedaulatan rakyat.
Penulis adalah Masyarakat Pinggiran Kota
Bengkulu.
Awang Konaevi S.H.
[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918162147-32-431642/rapor-merah-dpr-galak-ke-kpk-mesra-dengan-rezim-jokowi
[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190918162147-32-431642/rapor-merah-dpr-galak-ke-kpk-mesra-dengan-rezim-jokowi
[3] https://fin.co.id/2019/05/16/rapor-merah-dpr-ri-periode-2014-2019/
[4] https://nasional.kompas.com/read/2019/09/17/15591151/icw-siap-gugat-hasil-revisi-uu-kpk-ke-mk
[5] https://www.alinea.id/infografis/rapor-merah-dpr-2014-2019-b1Xob9nM3
[6]
https://www.uinjkt.ac.id/id/harapan-semu-dpr-baru/

Komentar