Dalam kehidupan, banyak kejadian dan cerita hidup yang harus kita jalani meskipun hal tersebut sebenarnya tidak ingin kita lalui, perjalanan dalam kehidupan ini akan menemukan berbagai macam cerita yang sulit kita jelaskan, salah satunya seperti kehidupan berumah tangga. Bahwa dalam kehidupan berumah tangga ini akan dilalui oleh sebagian besar setiap manusia dan didalam kehidupan berumah tangga akan banyak liku-liku kehidupan yang naik turun, susah senang, sakit sehat, dll.
Perjalanan kehidupan berumah tangga ini ada sebagian yang mengalami kehancuran/perceraian disebabkan oleh berbagai masalah yang mungkin sudah tidak sanggup lagi keduabelah pihak untuk tetap bersama. Disinilah kita akan menemukan pertanyaan besar yang pada dasarnya kita sudah mengetahui mengenai hukum pernikan dalam islam, bahwa jika sudah kedua belah pihak antara laki-laki dan perempuan telah menika maka hak sepenuhnya atas perempuan tersebut menjadi tanggung jawab laki-laki atau suami, sebab di dalam perkawinan tersebut disaat akad pernikahan sudah ada akad antara suami dengan wali atas perempuan tersebut, dalam hal ini bahwa sudah ada restu, penyerahan wali atas anaknya untuk di pertanggung jawabkan dunia akhirat.
Sebagaimana sebelumnya di sebutkan bahwa didalam berumah tangga tidak semuanya berjalan dengan baik, tidak semua hubungan rumah tangga tersebut dapat di pertahankan. Dalam hukum islam di perbolehkan untuk berpisah/cerai meskipun perbuatan tersebut sangat Allah SWT benci.
Dalam hukum islam sudah menjelaskan bahwa perceraian di perbolehkan asalkan dengan alasan alasan yang sudah memiliki landasan yang kuat, dan perceraian tersebut adalah haknya laki-laki/suami sepenuhnya. Atas izin serta pengakuan atau suami tersebutlah yang mengembalikan atau menceraikan istri (sudah ada kata talak dari suami), jika seperti itu maka status hukum perceraian itu sah menurut hukum islam.
Dalam kehidupan berumah tangga saat pasangan suami istri itu ingin mengakhiri kehidupan rumah tangganya tidak semuanya atas keinginan dari suami, namun ada juga keinginan dari istri. Disinilah yang menjadi pembahasan dalam penulisan ini, apakah permintaan istri untuk pisah yang diajukan ke pengadilan agama adalah sah perpisahan tersebut jika sudah di putus pengadilan yang pada dasarnya dari pihak suami tidak ingin terjadinya perpisahan/cerai.
Bahwa sebagaimana di sebutkan sebelumnya dalam hukum islam mengatur kalau masalah perceraian adalah hak sepenuhnya suami/laki-laki, jika sudah ada talak dari suami maka perceraian itu sah secara hukum islam, sedangkan disini sebagaimana sebutkan sebelumnya bahwa dari pihak laki-laki tetap tidak mau terjadinya perceraian/perpisahan namun dari pihak istri merasa sudah tidak sanggup dan tidak ingin lagi melanjutkan hubungan rumah tangga tersebut. Sang istri karena merasa sudah tidak sanggup lagi meneruskan hubungan rumah tangga tersebut maka ia mengajukan gugatan ke pengadilan, dan dalam hukum perkawinan negara Indonesia diatur dan di izinkan hal terebut.
Jika dalam gugatan sang istri di pengadilan sudah di putuskan hakim bahwa gugatan istri itu di kabulkan meskipun tidak ada kata talak dari suami dan bahkan ada juga yang memang suami tidak pernah menghadiri sidang gugatan tersebut, maka dalam hukum perkawinan dalam undang-undang No. 1 tahun 1974 tetang perkawinan bahwa perceraian tersebut sudah sah.
Perceraian seperti inilah yang masih ada sebagian yang mempertanyakan apakah sah juga menurut hukum islam, sedangkan dalam perceraian tersebut tidak ada kata talak dari siami dan bahkan dari suamipun tidak perna hadir di persidangan.
Menjawab hal tersebut sebagaimana disebutkan dan di jelaskan menurut beberapa ulama, yaitu seperti Ustad Abdul Somat, Buya Yahya, Ustad Adi Hidayat dan ustad-ustad yang lainnya menjelaskan bahwa pada pokok intinya yaitu, perceraian tersebut sah secara hukum islam, bahwa istri punyak hak untuk menuntut cerai (dalam hukum islam disebut khulu). Tuntutan istri untuk menuntut cerai kepengadilan agama dengan dasar, alasan dan bukti yang kuat sesuai dengan syariat dan di putus pengadilan maka perceraian tersebut sah secara hukum islam.

Komentar